PERBANDINGAN AMAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XIX/2021
Oleh :
TASRIF H.M.SALEH, S.H.,M.H
(Praktisi Hukum Lembaga Pembiayaan)
08 September 2021
Latar
Belakang
Prinsip proporsional dan asas keseimbangan
dalam perjanjian pada prakteknya sering disimpangi hingga mengabaikan hak-hak
debitur. Kreditur seolah memanfaatkan kondisi debitur yang dalam posisi
membutuhkan objek fidusia. Debitur faktanya sering mendapatkan perlakuan tidak
adil. Sejak awal penandatanganan perjanjian fidusia debitur disodorkan
surat-surat yang tidak dipahami, hingga penyerahan buku hak objek fidusia
debitur sering dibebani biaya yang tidak diperjanjikan sebelumnya.
Di sisi lain, ketika debitur berhalangan membayar
cicilan utang, kreditur melalui tangan pihak ketiga atau debt collector melakukan tarik paksa objek fidusia bahkan tidak
jarang menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan. Kemudian setelah objek
fidusia berada dalam kekuasaan kreditur, debitur dipaksa membayar lunas
utangnya, dan jika tidak dilunasi maka kreditur melelang objek fidusia secara
sepihak. Tindakan kreditur sepanjang ini dikarenakan sertifikat jaminan fidusia
memiliki kekuatan eksekutorial seperti halnya putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat
(2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF),
yang berbunyi:
Pasal
15 ayat (2) menyatakan:
“Sertifikat
Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Pasal
15 ayat (3)
menyatakan:
“Apabila debitur cidera janji
Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Konstitusionalitas kedua pasal di atas
telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materil. Atas
permohonan itu, MK telah menerbitkan Putusan Nomor 18/PUU-XII/2019. Pemohon
mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF bertentangan dengan Pasal 1
ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang isinya:
Pasal 1 ayat (3) menyatakan:
“Negara Indonesia adalah negara
hukum.”
Pasal 27 ayat (1) menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal 28D ayat (1) menyetakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.”
Pasal 28G ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.”
Pasal 28H ayat (4) menyatakan:
“Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Pemohon mempersoalkan frasa
“kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap” di dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF, juga
mempersoalkan frasa “debitur cidera janji” dan “Penerima Fidusia mempunyai hak
untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya
sendiri” di dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF.
Frasa
“kekuatan eksekutorial” berarti bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai
kekuatan eksekusi sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau pasti (inkracht
van gewijsde). Hal ini menunjukan bahwa pasal itu lebih berpihak kepada
kreditur atau lembaga pembiayaan yang notabene adalah pemilik modal. Karena lebih
memberikan kepastian hukum bagi penerima fidusia (kreditur) daripada pemberi
fidusia (debitur) dengan jalan kreditur dapat melakukan eksekusi objek fidusia
secara serta merta, sesuai maksud Pasal 15 ayat (2) UUJF.
Berkaitan dengan frasa “debitur cidera janji”
(wanprestasi) menurut pemohon menimbulkan persoalan tentang metode menentukan
kapan debitur telah “cidera janji,” sepanjang ini ditentukan kreditur secara
sepihak, tanpa mekanisme dan prosedur penilaian yang jelas dalam melihat
tindakan debitur yang dinilai “cidera janji” itu. Pemberi fidusia (debitur)
tidak diberikan mekanisme hukum yang setara untuk menguji kebenarannya. Setelah
ditentukan sepihak oleh kreditur bahwa debitur “cidera janji” maka kreditur
dapat melakukan eksekusi objek jaminan fidusia dengan cara mengambil alih dan
kemudian menjual objek jaminan fidusia sendiri, sesuai isi Pasal 15 ayat (3)
UUJF.
Terdapat kekurangan dalam Pasal 15 ayat (2) dan
(3) UUJF dimana tidak menjelaskan prosedur eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia,
dan tidak mengatur mekanisme menentukan “debitur cidera janji”. Sehingga
menimbulkan pengertian pasal itu memberikan legitimasi kepada kreditur untuk
melakukan eksekusi secara serta merta tanpa prosedur hukum yang benar dan
menimbulkan kesewenang-wenangan dari penerima jaminan fidusia. Seharusnya,
ketika mempersamakan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) diikuti aturan tentang prosedur dan tata cara
eksekusi. Dengan tidak adanya aturan itu maka berimplikasi kepada pengabaian
asas kepastian hukum (legal
certainty) dan asas keadilan hukum (legal justice) serta mengabaikan perlindungan
terhadap hak milik pribadi pemberi fidusia, karena lebih cenderung melindungi
Penerima Fidusia daripada melindungi kepentingan debitur (pemberi fidusia).
Sepanjang ini, dengan “kekuatan eksekutorial”
menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditur dalam mengambil alih objek jaminan
fidusia. Tanpa mengikuti mekanisme eksekusi pada putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) dengan cara mengajukan permohonan eksekusi kepada
Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang menyatakan:
“Jika
pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu
dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan
maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat
pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil
pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan
itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan
hari.”
Seharusnya
kreditur mempedomani ketentuan ketentuan Pasal 196 HIR itu bukan melakukan
tarik paksa yang mengakibatkan terganggunya tertib hukum. Menurut MK dalam
pertimbangannya bahwa dalam perspektif konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat
(2) UUJF di atas tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang
seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga
objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk
kepastian hukum maupun keadilan.
Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi adanya hak
yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain telah
terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum
yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/ mendapat kesempatan pembelaan diri atas
adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi)
dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga
yang wajar.
Mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UUJF yang memberikan “titel
eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap” ternyata
dapat berdampak pada tindakan eksekusi sepihak tanpa melalui proses eksekusi
sebagaimana seharusnya sebuah eksekusi atas putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri. Sebagai konsekuensi logisnya,
tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia
berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan
sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa
ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya)
terhadap debitur yang serigkali mengabaikan hak-hak debitur.
Dari itu semua, menimbulkan ketidakpastian hukum
berkaitan dengan tata cara eksekusi dan ketidakpastian tentang waktu kapan
pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak
adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah
sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian
demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan
debitur “cidera janji” ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Dengan
sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri
dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga
yang wajar.
Disamping itu sering menimbulkan “paksaan” dan “kekerasan”
dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih
pinjaman utang debitur, bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang
berimplikasi merendahkan harkat martabat debitur. Namun demikian, Mahkamah
berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia
(kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan
kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera
janji” (wanprestasi)
dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari
perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan
kata lain, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera
janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi
objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan
penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur). Maka menjadi kewenangan
sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi
sendiri (parate eksekusi).
Atas permohonan pemohon, MK menyatakan norma Pasal
15 ayat (2) UUJF, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan
konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak
ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan
debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan
fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat
Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu, terhadap
norma Pasal 15 ayat (3) UUJF khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat
dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak
ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara
kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah
terjadinya cidera janji.
MK tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan
fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak
yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan
dan pendirian MK a quo. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh
kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun
eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan
dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam
proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam
setiap Pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada
umumnya.
Dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa
“kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji”
dalam norma Pasal 15 ayat (3) UUJF, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UUJF namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah
berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UUJF, maka terhadap frasa
“kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan
sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan Pasal 15 ayat (2) UUJF dengan
pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji
dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan
fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi
Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Adapun yang membedakan perkara a quo dengan
Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 adalah terkait dengan dasar pengujian yaitu
permohonan a quo menguji Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang
Jaminan Fidusia terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945 dan terkait dengan alasan permohonan juga berbeda yaitu
anggapan kreditur sebagai pihak yang terdampak atas Putusan Mahkamah a quo.
Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau
tidak.
B. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar
belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah “Bagaimana perbandingan amar putusan antara putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dengan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021
?.”
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
Makalah Perbandingan Putusan ini adalah penelitian
kepustakaan dan kegiatan pengamatan yakni dengan menelusuri beberapa artikel
terkait dengan perbandingan kedua putusan
mahkamah konstitusi tersebut di atas. Dari itu, kemudian penulis membuat
resumenya.
D. Perbandingan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021
Perbandingan diantara kedua amar putusan tersebut, dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:
Tabel
1
Perbandingan
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII2019 dan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2/PUU-XIX/2021
No. |
Perbandingan Amar
Putusan |
|
Putusan MK Nomor 18/ PUU-XVII/2019 |
Putusan MK Nomor 2/ PUU-XIX/2021 terkait |
|
1. |
Lahirnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 terkait Undang-Undang Jaminan
Fidusia, membuat sebagian perusahaan pembiayaan (leasing/kreditur) resah karena tidak boleh lagi melakukan
eksekusi sendiri (parate eksekusi) terhadap barang/asset/jaminan fidusia. Di
lain pihak, seolah-olah konsumen pembiayaan (Lesse/ Debitur) “dimenangkan”
karena dalam kondisi tertentu “menganggap” dapat memper-tahankan barang yang dikuasainya
dari tindakan eksekusi langsung oleh kreditur.
|
Lahirnya
Amar Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 menegaskan, eksekusi sertifikat jaminan
fidusia melalui Pengadilan Negeri hanya alternatif, apabila tidak ada
kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik berkaitan dengan wanprestasi
maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.
|
2. |
Tidak adanya kepastian hukum perihal jaminan fidusia tidak
dapat dieksekusi tanpa putusan pengadilan. Di sisi lain, sertifikat jaminan
fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam perkataan lain, perusahaan
pembiayaan saat ini tidak boleh lagi menarik kendaraan, kecuali dengan
permohonan lebih dulu ke Pengadilan Negeri. |
Perihal keberatan debitur untuk
menyerahkan objek jaminan dalam hal terjadinya peristiwa “cidera
janji/wanprestasi” merupakan bentuk penyimpangan dan pelanggaran perjanjian.
Hal tersebut tidak boleh merugikan hak
kreditur untuk melaksanakan eksekusi objek jaminan berdasarkan Pasal 29, 30
dan Pasal 31 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Hal ini sebagaimana dimuat dalam
Amar Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 tidak mengikat untuk semua kondisi
termasuk terhadap Perjanjian Fidusia. Kondisi ini akan menciderai prinsip
keadilan universal, sekaligus pelanggaran terhadap asas kepastian hukum yang
terkandung dalam Pasal 29, 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Jaminan Fidusia,
sedangkan norma tersebut tidak menjadi norma yang diuji oleh MK. |
3. |
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang
cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela
objek yang menjadi jaminan fidusia. |
Secara spesifik amar Putusan MK Nomor
2/PUU-XIX/2021 merugikan hak konstitusional kolektor internal di bidang
penagihan. Kondisi ini sebagai dampak dari berlakunya norma
yang dimohonkan pengujian, yaitu diantaranya hak untuk mendapat perlindungan
hukum dan penghidupan yang layak. Dari itu, terlihat adanya hubungan kausal
antara anggapan Pemohon tentang kerugian hak konstitusional dengan berlakunya
norma Undang-undang yang dimohonkan pengujian, sehingga jika permohonan
dikabulkan, kerugian demikian tidak lagi terjadi. |
4. |
Pasal 15 ayat (2)
dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia terdapat masalah persoalan
inkonstitusional karena tidak ada kepastian hukum, berkaitan dengan tata cara
pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu, kapan pemberi fidusia
(debitur) di-nyatakan “cidera janji” atau wanprestasi serta hilangnya
kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan
harga yang wajar. |
Tidak adanya proporsionalitas secara
konstitusional bagi pihak |
5. |
Dalam pelaksanaan
eksekusi, sering menimbulkan perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang
yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang
debitur bahkan melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. |
Tidak adanya jaminan bahwa eksekusi objek
jaminan fidusia melalui pengadilan akan berjalan secara efektif. Hal ini
karena tidak semua permohonan eksekusi perkara selesai dilaksanakan, serta
tidak adanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, bagi industri pembiayaan dikarenakan besarnya biaya yang
dikeluarkan (untuk eksekusi) lebih besar daripada pendapatan dari (barang)
fidusia itu sendiri. |
6. |
Amar putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 tidak memberikan terobosan hukum
yang secara fundamental merubah prinsip atau asas jaminan fidusia, Dalam amar
putusan ini, MK hanya merumuskan solusi praktek terkait pelaksanaan eksekusi,
ketika jaminan fidusia tidak secara jelas menyepakati cidera janji dan
debitur keberatan menyerahkan barang jaminan secara sukarela. |
Memberikan ruang bagi terjadinya kejahatan
karena memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang,
sehingga bertentangan dengan prinsip Negara Hukum. Namun, secara formal
permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/ PUU-XIX/2021 beralasan untuk dapat
diajukan kembali. |
Sumber:
dari
berbagai literatur melalui media google.
Mengacu pada beberapa perbandingan amar
putusan antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII2019 dan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021, sehingga penting bagi Mahkamah menegaskan
perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam
perkara a quo antara lain proses eksekusi lama, biaya eksekusi lebih besar
dibanding
pendapatan
barang fidusia, dan berpotensi hilangnya objek jaminan di tangan debitur,
sesungguhnya lebih kepada persoalan-persoalan konkret. Hal tersebut dapat saja
terjadi dalam hubungan hukum antarprivat yang sifatnya sangat spesifik dan
kompleks. Dalam batas
penalaran
yang wajar, hal-hal tersebut tidak dapat diakomodir dengan selalu menyelaraskan
norma dari undang-undang yang bersangkutan. Terlebih lagi, terhadap norma yang
memang tidak terdapat persoalan konstitusionalitasnya. Apalagi norma yang
dimohonkan Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum
dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah
pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan eksekutorial sertifikat
jaminan
fidusia.
E. Penutup
Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menjadi penjelasan pelaksnaan eksekusi Jaminan Fidusia atas Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang sempat menimbulkan adanya perdebatan akibat multitafsir.
Makna
“sukarela saat eksekusi" dalam Pasal 15 ayat (2) dan
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebagaimana telah
dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019, bertentangan dengan prinsip negara hukum yang harusnya
menjamin aturan yang mencegah terjadinya potensi kejahatan. Apabila debitur
beritikad baik, debitur harus minta restrukturisasi bukannya justru tidak
sukarela menyerahkan barangnya.
Share This News
Comment