• tbima79@yahoo.co.id / tasrifandpartners@gmail.com
  • 021-2761 6972, 0812 8223825
News Photo

INTERPRETASI YURIDIS ATAS UJI MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERKAIT TERBITNYA PUTUSAN MK NOMOR 18/PUU-XVII/2019

ABSTRAK

           Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Permohonan Pelaksanaan Eksekusi kepada Pengadilan Negeri memicu terjadinya konflik kepentingan, terutama kepentingan bagi pihak penerima fidusia (kreditur), karena berdasarkan hasil uji materi terhadap Pasal 15 ayat (2) dan (3) serta penjelasan Pasal 15 ayat (2) seakan-akan hasil putusan tersebut lebih berpihak pada kepentingan pemberi fidusia (debitur). Di sisi lain, kepentingan kreditur terabaikan jika ditinjau dari sudut pandang perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi kreditur apabila dalam pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia harus mengajukian permohonan ke pengadilan negeri setempat, permasalahan lainnya apabila akan dilaksanakan eksekusi ternyata objek tersebut sudah digelapkan oleh pihak debitur, dan termasuk debiturnya telah melarikan diri. Aspek inilah yang perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebelum mengeluarkan putusan tersebut.

          Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan berupa Jurnal Hukum Bisnis skala Internasional ini adalah pertama, bagaimana interpretasi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi terhadap Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, serta penjelasannya. Kedua, bagaimana pandangan para pakar hukum dan masyarakat mengenai hasil uji materi Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, serta penjelasannya.

          Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis normatif yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan terkait. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji hasil uji materi Undang-Undang Jaminan Fidusia yang dinilai putusan MK tersebut terburu-buru, sementara menurut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap bersifat independen dan merdeka, guna menegakkan hukum dan keadilan.

          Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji materi yang dimuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ternyata belum memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi penerima fidusia dalam hal pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, karena menurut hasil putusan tersebut bahwa pelaksanaan eksekusi harus melalui prosedur pengadilan, hal ini tentunya memberatkan pihak kreditur karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. 

 

Kata Kunci :   Interpretasi Yuridis, Uji Materi UU Fidusia, Putusan

                         Mahkamah Konstitusi.

Page 2 of 16

 

I.       Pendahuluan

                   Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Permohonan Pelaksanaan Eksekusi kepada Pengadilan Negeri, pada tanggal 6 Januari 2020 adalah sebagai hasil uji materi dari Pasal 15 ayat (2) beserta penjelasannya dan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Uji materi atas pasal tersebut diselenggarakan melalui 2 (dua) kali persidangan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi.[1] Penyelenggaraan uji materi atas pasal tersebut merupakan permohonan Aprilliani Dewi dan suaminya Suri Agung Prabowo yang mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dikatakan demikian, karena di dalam Pasal 15 ayat (2) yang berbunyiSertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Dari bunyi pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya mengapresiasi bahwa Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

                   Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga mengapresiasi bunyi Pasal 15 ayat (3) yang bunyinya “Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”. Menurut persepsi Mahkamah Konstitusi, Pasal 15 ayat (3) ini sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”. Di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

                   Substansi dari Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) serta penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, berdampak pada berbagai pihak yang berkepentingan yaitu penerima fidusia (kreditur), pemberi fidusia (debitur), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara c.q. Direktorat Lelang, atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang melaksanakan proses bisnis lelang dalam kesehariannya. Pernyataan demikian tentu tidak berlebihan, karena Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia juga mengatur bahwa apabila debitur cidera janji, eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :[2]

          1.       Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia (kreditur);

          2.      Penjualan benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

          3.       Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi fidusia (debitur) dan Penerima Fidusia (kreditur) jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

                  

                   Merujuk ketentuan tersebut, sebagaimana dimuat pada Nomor 2, maka eksekusi terhadap barang jaminan fidusia adalah melalui cara lelang. Hal ini juga dipertegas dengan adanya ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 27/2016) yang mengkategorikan Lelang Eksekusi Jaminan Fidusia sebagai salah satu dari jenis Lelang Eksekusi, dan sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan jenis Lelang Eksekusi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I yang notabene hanya terdapat pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Di dalam prakteknya, proses lelang membutuhkan waktu lama dan harus melalui beberapa tahapan lelang, meliputi Pra Lelang, Pelaksanaan Lelang, dan Purna Lelang.[3]

                    Di dalam tulisan ini penulis tidak membahas mengenai lelang dan pelaksanaannya, akan tetapi membahas dan mengkaji penafsiran hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, serta membahas dan mengkaji persepsi sebagian praktisi hukum di dalam menilai hasil uji materi yang diduga lebih berpihak pada kepentingan pemberi fidusia, dan mengesampingkan aspek perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi penerima fidusia (kreditur). Di sisi lain dikaji dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi terlalu terburu-buru dalam mengambil suatu keputusan yang memberikan dampak besar bagi masyarakat dan perusahaan pembiayaan. Dalam putusan tersebut, MK hanya melihat satu kasus dari ribuan kasus atau bahkan jutaan kasus "wanprestasi kredit" yang sedang terjadi di masyarakat. Seharusnya, Mahkamah Konstitusi lebih dalam mengkaji tentang kredit macet dan kasus-kasus oknum mafia leasing (penggelapan kendaraan kredit macet) yang merugikan kreditur yang mungkin mencapai angka triliunan rupiah, dengan bermacam-macam modus operandinya.

                   Kasus-kasus seperti di atas. seharusnya menjadi suatu pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi sebelum memutuskan dikarenakan benda-benda yang menjadi objek jaminan adalah benda bergerak dan tidak dapat dipastikan bahwa kendaraan tersebut selalu berada di tempat yang sama, dan mungkin juga saat kreditur mengajukan upaya hukum eksekusi ke Pengadilan Negeri (PN), ternyata kendaraan tersebut sudah menghilang atau lari dari alamat si debitur, bahkan debiturnya juga ikut menghilang dan tidak terlacak lagi. Karena untuk melakukan penyelamatan aset, kreditur butuh tindakan cepat dan tepat tanpa melanggar hukum, agar supaya oknum mafia-mafia yang menyamar sebagai debitur kredit dapat diamankan saat terlihat atau terlacak karena jika tidak cepat, dapat dipastikan objek jaminan tersebut akan hilang dan tidak terlacak lagi.

                   Das sein dari penelitian ini, yang menjadi ketertarikan penulis untuk dimuat dan dibahas di dalam tulisan berupa Jurnal Hukum Bisnis skala Internasional.

 

II.      Identifikasi, Batasan Masalah dan Tujuan Penelitian

                    Ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi penulis, terutama mengenai Pasal 15 ayat (2) dan (3) yang diuji merupakan pokok utama manfaat hukum jaminan fidusia yang memberikan rasa keadilan bagi pemberi dan penerima fidusia. Konsekuensi apabila dihilangkannya kekuatan eksekutorial yang terdapat di Pasal 15 ayat (2) dan debitur cidera janji terdapat di Pasal 15 ayat (3) dapat menghilangkan manfaat pendaftaraan jaminan fidusia. Beberapa manfaat jaminan fidusia yang hilang tersebut seperti menekan risiko bisnis dalam keputusan pembiayaan, memberikan kepastian hukum dan mencegah terjadinya fidusia ulang terhadap benda jaminan dan memberikan proses yang mudah dan cepat jika terjadi wanprestasi.

                   Mengacu pada berbagai identifikasi masalah di atas, penulis hanya membatasi permasalahan pada pertama, bagaimana interpretasi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi terhadap Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, serta penjelasannya. Kedua, bagaimana pandangan para pakar hukum dan masyarakat mengenai hasil uji materi Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, serta  penjelasannya.

                   Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, penulis berharap agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang dilibatkan dalam uji materi Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia dapat mengkaji dan mengevaluasi ulang terhadap putusan yang dikeluarkannya yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 sehingga hasil putusan dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi penerima fidusia dan pemberi fidusia, karena penulis menilai bahwa putusan yang dikeluarkannya tersebut terburu-buru sifatnya. Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah penulis menilai bahwa majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang dilibatkan dalam uji materi Undang-Undang Fidusia, telah salah menilai bahwa bukan norma Undang-Undang Fidusia yang diubah melalui putusan konstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi mekanisme eksekusi yang selama ini memang "kurang baik" harus diperbaiki, karena setelah Putusan Mahkamah Konstitusi, wanprestasi dan eksekusi harus ditafsirkan berbeda. Wanprestasi harus disepakati lagi dikemudian hari, apabila terjadi wanprestasi. Sedangkan eksekusi harus ada pernyataan sukarela dari debitur atau melalui putusan pengadilan. Penyelesaian sengketa wanprestasi dan eksekusi melalui pengadilan dinilai tidak efektif, akan menghabiskan biaya dan waktu yang banyak, serta bukan solusi dari tercapainya keadilan bagi pihak debitur dan kreditur. 

 

III.    Pengertian dan Metode Penelitian

 

                   Ada beberapa deskripsi operasional atau pengertian-pengertian yang sejalan dengan tulisan ini, diantaranya :

1.          Pengertian Interpretasi Yuridis

         Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang. Penafsran historis ini ada 2 (dua) yaitu kesatu, penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Contoh: KUHPerdata (BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) dikodifikasikan pada tahun 1838. Kedua, penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya.[4]

 

2.          Pengertian Uji Materi / judicial review

                Judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktek, judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

                Mengenai judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, dan badan hukum publik atau privat, atau lembaga Negara.[5]

 

3.          Pengertian Objek Jaminan Fidusia

                Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengertian fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.[6] Sedangkan jaminan Fidusia adalah “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya”.[7]

                   Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji antar peraturan perundang-undangan terkait. Sebagai contoh, dalam tulisan akan dikaji penafsiran hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi terhdap Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa putusan hakim merupakan putusan yang independen dan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

 

IV.    Hasil dan Pembahasan

 

1.     Hasil Temuan

                            Awalnya, kasus ini bermula Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 di PT. Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Aprilliani dan Suri berkewajiban membayar utang kepada PT. ASF senilai Rp.222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 hingga 18 Juli 2017, Pemohon telah membayarkan angsuran tepat waktu.  Namun, pada 10 November 2017, PT. ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan mereka dengan dalil/alasan wanprestasi. Atas perlakuan tersebut, Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT. ASF. Namun tidak ditanggapi hingga mendapat beberapa perlakuan tidak menyenangkan. Menerima perlakuan tersebut, keduanya berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 24 April 2018. Dasar gugatannya, perbuatan melawan hukum dengan Nomor registrasi perkara 345/ PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Aprilliani dan Suri dengan menyatakan PT. ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, PT. ASF tetap melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon disaksikan pihak kepolisian. Padahal, sesuai hasil putusan pengadilan itu, pihak PT. ASF tidak bisa mengambil mobil itu.[8]

                            Kedua Pemohon menganggap PT. ASF telah berlindung di balik Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang diujikan dalam permohonan ini. Karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Di dalam Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan:

a.          Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA",

b.          Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

c.          Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.  

 

Mahkamah berpendapat, norma Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan dengan tata cara eksekusi atau waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi) dan hilangnya kesempatan debitur mendapat penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Selain sering menimbulkan adanya paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal ini jelas ada persoalan inkonstitusional norma dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Share This News

Comment

Do you want to get our quality service for your business?